Pekanbaru, CFDI - Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie mengajak seluruh masyarakat Indone...
Pekanbaru, CFDI - Ketua Umum
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie mengajak
seluruh masyarakat Indonesia untuk membudayakan sikap mencintai lingkungan
hidup sebagai salah satu wujud dari pengamalam ajaran-ajaran di dalam Alqur’an
bahwa manusia yang beragama harus menjadi rahmat bagi seluruh alam karena Nabi
Besar Muhammad SAW diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.
Dalam pidatonya
di kampus Universitas Riau usai melakukan penananam 15 pohon secara simbolik,
menandai diluncurkannya rangkaian program pencita lingkungan yang diinisiasi
oleh Generasi Lintas Budaya Foundation kemarin (28/11/2019), Prof. Jimly
katakan bahwa dalam Alqur’an diajarkan bahwa Rasullulah diutus untuk menjadi
rahmat bagi segenap alam. Karena itu pemeluk agama pun harus meneladani beliau
dengan cara menjadi rahmat bagi lingkungannya bahkan seluruh alam.
“Andai kita
konsisten bahwa kita memperhatikan alam semesta dan menjadikan diri kita dan
agama kita sebagai rahmat bagi semua orang, semua hewan, dan tumbuh2an, maka
alam ini akan dipenuhi rahmat, bukan bencana,” kata Jimly dalam acara tersebut
yang merupakan bagian dari rangkaian Multi
Event Lintas Budaya di berbagai daerah.
“Maka beragama
itu harus menjadi sumber rahmat bagi seluruh alam, bahkan bukan hanya umat
Islam, pemeluk semua agama hendaknya begitu. Jadi agama itu jangan menjadi
sumber bencana, sumber perpecahan, sumber kebencian. Tetapi sebaliknya menjadi
sumebr rahmat bagi seisi alam,” tegas Jimly.
Namun ia
menyadari bahwa cita-cita seperti itu baru terjadi di dalam teori. Dalam
praktiknya, dalam kehidupan sehari-hari, yang terjadi justru sebaliknya.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah hewan lair terbanyak di seluruh
dunia. Dan jumlah hewan liar di dalam Appendix
1 PBB, yaitu laporan UNESCO, tampak jelas bahwa jumlah hewan liar yang
terancam punah paling banyak di seluruh dunia juga ada di Indonesia.
Kenapa
hewan-hewan di negeri kita terancam punah? tanya Jimly, dan ia menjawab
sendiri: “Karena semua hewan itu dimusuhi manusia sehingga kita bukan menjadi
rahmat bagi hewan, kita justru menjadi sumber bencana bagi hewan dan
lingkungan.”
“Kalau ada
burung dara di pantai, begitu dengar manusia datang, mereka langsung terbang
karena takut. Coba lihat di negara-negara yang peradabannya tinggi. Hewan
begitu bersahabat dengan manusia. Manusia menjadi rahmat bagi hewan.”
Jimly katakan,
suatu hari ia berjalan-jalan di Melbourne dan melihat ada tupai yang jatuh ke
pundak seseorang. Orang itu berjalan dengan tenang dan tupai tersebut turun ke
kakinya kemudian berlari ke taman dengan selamat. “Saya bayangkan kalau ini
terjadi di Indonesia, pasti tupainya sudah diinjak-injak dan dibunuh. Itu
artinya kita ini tidak ramah terhadap hewan. Padahal Alqur’an menyuruh kita
menjadi rahmat bagi semesta alam.”
Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi ini katakan bahwa di negara-negara Barat yang sibuk
diperjuangkan sekarang bukan lagi hak asasi manusia, tetapi hak asasi hewan.
“HAM sudah
selesai. Tahun 1789 sudah ada Declaration
of the Rights of Man and of Citizens yang menjadi pembukaan dari konstitusi
Prancis. Sekarang mereka sibuk memperjuangkan hak asasi hewan. Bahkan di
Ekuador sekarang dimasukkan hak-hak asasi alam (nature’s rights),” katanya.
“Jadi yang
punya hak asasi bukan hanya manusia tetapi juga sungai, gunung, hewan,
tumbuh-tumbuhan, seisi alam ini punya hak asasi yaitu hak untuk tetap eksis.
Orang di luar sana sudah sangat maju cara berpikirnya. Kita, jangankan animals’ right, hak asasi tetangga pun
belum kita penuhi.”
Jimly kemudian menerangkan bahwa para pemimpin di seluruh dunia kini
sibuk berpikir tentang climate change,
khususnya apa yang akan terjadi apabila es di kutub utara dan selatan mencair.
Yang akan lebih dulu terancam dan mati adalah manusia di negara kepulauan
seperti Indonesia. “Kita ini, Alhamdulillah tidak takut mati, bukan karena kita
berani, tetapi memang karena tidak mengerti dan tidak mau mengerti”, tukasnya.
Oleh karena itu
sebagai Ketua Umum ICMI, Prof. Jimly mengajak masyarakat di Riau dan di seluruh
Indonesia untuk menanam pohon sebagai gerakan nasional yang patut dibudayakan
guna mencegah percepatan peningkatan atmosfir bumi yang diakibatkan oleh
tandusnya planet ini serta rusaknya lapisan ozone yang diakibatkannya.
Demi
membangunkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya memelihara lingkungan
hidup, Jilmy katakan bahwa ada ironi sangat besar di negara-negara berpenduduk
Muslim di dunia ini karena negara-negara tersebut justru tidak menjadi pelopor
dalam memelihara alam semesta, padahal kitab suci secara tegas mengamanatkan
agar umat Muslim menjadi rahmat bagi seisi alam.
Mengutip hasil
survei tentang Islamic Cities Index
yang dilakukan oleh para guru besar di Amerika, Jimly katakan bahwa kota-kota
yang paling Islami justru adalah kota-kota yang tidak memiliki penduduk Muslim
seperti di Skandinavia.
Oleh karena itu
maka sangat perlu bagi umat Muslim dan Lintas Agama di Indonesia untuk menjadi
pelopor dalam memelihara lingkungan hidup, termasuk menanam pohon sebagai
gerakan nasional yang patut dibudayakan.
Dalam rangka
itu Prof. Jimly memberikan apresiasi yang tinggi kepada Ketua Generasi Lintas
Budaya Foundation, Raja Asdi, yang telah menggerakkan berbagai elemen
masyarakat termasuk budayawan, para artis, dan juga kementerian serta
pemerintah daerah untuk bersama dalam gerakan besar ini sebagai kontribusi yang
sangat berarti bagi upaya melestarikan lingkungan hidup terus ke masa depan.
Jimly kemudian
mengutip temuan ahli geologi nuklir Prof.
Arysio Nunes dos Santos, Ph.D.
tentang benua Atlantis yang hilang tetapi disebutkan dalam literatur Yunani
kuno bahkan diceritakan oleh Plato bahwa benua yang hilang itu akhirnya
ditemukan dan namanya adalah Indonesia.
Sekitar 17.000
sampai dengan 11.000 tahun yang lalu Indonesia ini sebetulnya sebuah benua
besar yang kemudian terbelah menjadi banyak pulau dimana satu pulau dengan
pulau lainnya sekarang dihubungkan oleh laut, padahal dulunya itu adalah
sungai-sungai. Sumatera dan Jawa dulu dihubungkan oleh sungai, begitu pula Jawa
dan Kalimantan, Kalimantan dan Sulawesi, dan seterusnya.
Dalam bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found
yang dirilis tahun 2005 itu Prof. Santos katakan bahwa karena dasar
sungai-sungai itu runtuh akibat perputaran bumi yang dahsyat maka berubah
menjadi laut dangkal yang menghubungkan pulau-pulau tersebut.
Inilah sebabnya
maka lautan yang sekarang menghubungkan pulau-pulau itu berwarna biru muda,
pertanda laut yang dangkal. Inilah juga sebabnya maka di bawah kepulauan
Nusantara ini terdapat Ring of Fire
atau cicin api berukuran raksasa yang di atasnya terdapat banyak gunung berapi.
Oleh karena
kejadian alam yang mahadahsyat ini maka penduduk yang dulunya bermukim di
Nusantara ini musnah semua. Dan ini yang bisa menjelaskan mengapa peradaban
Indonesia baru muncul sekitar abad kedua dan ketiga Masehi padahal di Eropa dan
daratan Asia tercatat bahwa peradaban manusia sudah ada ribuan tahun sebelum
ledakan bawah bumi di benua Atlantis itu.
Oleh karena
itulah maka Prof. Jimly mengajak masyarakat Indonesia untuk menjadikan gerakan
menanam pohon sebagai budaya bangsa, sekaligus sebagai perwujudan dari ajaran
agama dan teladan Rasulullah.
Hal ini juga
untuk mengatasi tuduhan bahwa Indonesia adalah salah satu penyumbang erosi bumi
terbesar. Karena memang alam kita ini ringkih. Maka kita harus tahu karakter
alam Indonesia ini dan memeliharanya melalui gerakan penghijauan. Sebab yang
akan jadi korban tentunya adalah masyarakat Indonesia juga apabila alam semakin
panas dan tidak bersahabat karena kekurangan tumbuh-tumbuhan, ujar Jimly.
COMMENTS